Selasa, 15 Januari 2013

Contoh Opini Publik

Nama : Nurhadiyani Setiawan
NPM  :10608086
Kelas : 3 SA 01

 
Makna Sejuta Dukungan
Limas Sutanto

Sejak Reformasi 1998, atau selama 11 tahun, merupakan waktu yang cukup untuk perubahan mental kolektif mendasar.

Penggunaan teknologi komunikasi yang kian canggih ikut mempercepat perubahan. Perubahan mendasar itu berupa peningkatan kesadaran untuk memaknai kekuasaan negara sebagai peranti mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama.

Dalam bingkai ”kekuasaan negara bagi kebaikan dan kesejahteraan bersama”, keadilan dan penggunaan kekuasaan secara benar, baik, transparan, dan akuntabel menjadi keniscayaan. Dalam bingkai itu pula, ketidakadilan dan korupsi menjadi musuh bersama.

Gagap

Itulah inti kesadaran yang terus berkembang. Sayang, para pemegang kekuasaan justru menghadapinya dengan gagap. Mereka belum bisa sepenuhnya menerima bahwa bagi rakyat, ketidakadilan dan korupsi adalah musuh bersama. Pada masa kini dan masa depan, setiap kali rakyat melihat gelagat ketidakadilan dan korupsi, mereka akan beramai-ramai memeranginya. Inilah makna hakiki fenomena ”sejuta dukungan bagi KPK”.

Kegagapan pemegang kekuasaan termanifestasi dalam beberapa gejala.

Pertama, mereka mencurigai dan memandang fenomena dukungan sebagai kekuatan memusuhi negara dan mencaci pemegang kekuasaan. Padahal, di tengah kuat dan makin menguatnya kesadaran kolektif bahwa ketidakadilan dan korupsi adalah musuh bersama, ”sejuta dukungan” hanya sebuah konsekuensi logis yang tidak terhindarkan. Para pemegang kekuasaan perlu memahami fenomena ”sejuta dukungan” sebagai pesan positif, kini dan seterusnya rakyat Indonesia ingin melihat terwujudnya keadilan dan penggunaan kekuasaan yang bebas korupsi. Dan rakyat Indonesia akan bersama memerangi setiap ketidakadilan dan korupsi.

Sebenarnya pesan ini amat positif dan menguntungkan para pemegang kekuasaan. Sebab, jika menanggapi pesan dan masukan itu dengan tepat, mereka akan terhindar dari perang melawan ”jutaan dukungan” yang akan terwujud saat para pemegang kekuasaan terus membuat ketidakadilan dan korupsi.

Kedua, para pemegang kekuasaan menanggapi fenomena ”sejuta dukungan” hanya dengan argumen hukum formalistik. Para pemegang kekuasaan belum bisa memahami ”sejuta dukungan” sebagai berpadunya rakyat yang memerangi musuh bersama, ketidakadilan dan korupsi. Titik pusat fenomena itu bukan sekadar kengototan untuk mengatakan ”Bibit dan Chandra yang benar dan polisi yang salah”, tetapi perlawanan bersama rakyat. Maka, tidak tepat jika pemegang kekuasaan menanggapi ”sejuta dukungan” dengan argumen hukum yang formalistik.

Ketiga, para pemegang kekuasaan cenderung lamban dalam menanggapi fenomena sejuta dukungan. Laju pertambahan dukungan yang cepat pun tidak serta-merta dapat mengentak kesadaran pemegang kekuasaan untuk mengerti bahwa rakyat berhimpun untuk bersama-sama memerangi musuh ketidakadilan dan korupsi. Fenomena ”sejuta dukungan” tidak berefek destruktif dan tidak berintensi negatif, sebaliknya justru berintensi positif (mengingatkan, memberi masukan, menyadarkan) karena itu dapat diharapkan berefek konstruktif.

Namun, dalam dukungan juga bisa terkandung kerawanan untuk berbiaknya intensi negatif dan efek destruktif. Pada perspektif ini dapat dimengerti betapa pentingnya para pemegang kekuasaan menanggapi fenomena itu secara cepat dan tepat.

Rakyat terus berubah

Fenomena ”sejuta dukungan” adalah penegasan bahwa reformasi tidak mati, terus tersimpan, dan berkembang dalam khazanah mental kolektif Indonesia. Kita semua perlu menyadari, rakyat dan bangsa Indonesia telah berubah dan terus berubah. Di tengah proses berubah itu, rakyat dan bangsa Indonesia selalu memaknai ketidakadilan dan korupsi sebagai musuh bersama.

Kini dan ke depan, tidak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali menjalankan kekuasaan dengan adil dan bebas korupsi demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Siapa pun yang tidak mampu menerima pilihan ini dan menjalankan kekuasaan dengan tidak adil, penuh korupsi, akan berhadapan dengan rakyat.

Limas Sutanto Psikiater Konsultan Psikoterapi; Tinggal di Malang

Contoh Feature Human Interest

Sulastri sang pedagang gado-gado yang bercita-cita tinggi
Perempuan berusia 52 tahun ini adalah sosok seorang ibu yang mempunyai cita-cita tinggi untuk mendidik kedua anaknya. Kehidupan yang serba berkecukupan, tak membuat perempuan yang berprofesi sebagai penjual “Gado-gado” ini lupa akan pentingnya sebuah pendidikan. Sulastri, begitu sapaan dari para pelanggannya, walau hanya tamat Sekolah Dasar tak menutupi pikirannya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pendidikan yang tinggi
.
Keinginan yang keras demi melihat anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak dan mendapat sebuah ilmu yang akan menunjang pekerjaan adalah harapan besar untuk mewujudkan cita-citanya yang mulia tersebut.
 
Sedikit demi sedikit uang yang didapat dari bekerja dikumpulkannya. Dari uang itulah Sulastri dapat menyekolahkan kedua anaknya sampai ke perguruan tinggi. Kesadaran akan sebuah pendidikan yang utama membuat Sulastri banting tulang untuk mencukupi kebutuhan perkuliahan kedua anaknya yang dirasakannya memang sangat berat, namun Sulastri perempuan yang lahir di Nganjuk itu tak patah semangat, banyak tetangga-tetangganya yang mencibir keinginan keras Sulastri untuk menyekolahkan kedua anaknya ke pendidikan yang tinggi.
 
Kesulitan yang dialami bukan tak ada, biaya perkuliahan yang sekarang semakin tinggi membuat Sulastri sesekali hutang ke tetangganya untuk membayar biaya perkuliahan anak-anaknya. Sebuah perjuangan besar dan dibayar mahal oleh keberhasilan anak pertamanya yang berhasil lulus pada tahun 2006, harapan dan juga cita-cita tinggi oleh Sulastri masih menyisakan satu perjuangan besar yakni membiayai perkuliahan anaknya yang terakhir  yang masih di semester IV Universitas Mulawarman.
 
Kesuksesan dari sebuah perjuangan besar yang hanya dengan berjualan “Gado-gado” mampu mewujudkan cita-cita seorang Ibu, sekaligus untuk menyediakan pendidikan yang luar biasa untuk anak-anaknya. (SA)

Contoh Berita Koran





33 Orang Tewas Dalam Kecelakaan Pesawat di Kongo

Kamis, 17 Apr 2008 | 06:41 WIB




Petugas penyelamat Rabu (16/4) terus memeriksa puing-puing sebuah pesawat yang jatuh di daerah komersial padat kota Goma, Kongo timur, pada Selasa lalu, yang menewaskan sedikitnya 33 orang.
Pesawat penumpang DC-9 itu terbakar tak lama setelah lepas landas. Semula hanya enam orang di pesawat itu yang diyakini selamat, namun penyelidikan lebih lanjut menunjukkan bahwa banyak 
dari 79 penumpang berhasil menyelamatkan diri.


Pesawat Terbang kecelakaan kongo yang menimpa sekitar 120 korban jiwa dan diantaranya luka-luka dan sekarat .Kamis (17/4) yang terjadi sekitar 06.41  WIB



Radio Okapi yang dibantu PBB menyatakan telah menghitung 33 jasad yang hangus di dua kamar mayat Goma, namun masih tidak jelas apakah korban-korban itu penumpang di pesawat tersebut atau penduduk kota itu yang sebelumnya mengalami luka-luka ketika pesawat tersebut jatuh.
"Terdapat sedikitnya 120 korban cedera, yang mencakup para penumpang yang menyelamatkan diri dari kecelakaan itu dan orang-orang di daerah komerasial itu yang mengalami luka-luka ketika pesawat tersebut jatuh," kata Yann Bonzon, ketua misi Komite Internasional Palang Merah di Goma.

 
Radio Okapi mengutip seorang korban selamat yang mengatakan, pesawat itu gagal lepas landas karena sebuah bannya kempes. Pilot tidak bisa menghentikan pesawat tersebut yang kemudian jatuh di daerah Birere.DPA|Antara






Senin, 12 November 2012

Undang-Undang Kode Etik Jurnalistik




2.     Kode Etik Jurnalistik

  Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
  Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa.

 

2.1  Penafsiran Pasal Demi Pasal

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran:

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran :

Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran :

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran :

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran :

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 18 tahun dan belum menikah.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran :

a. Menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran :

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran :

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran:

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran:

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran:

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki

Sejarah Jurnalistik di Dunia dan Di Indonesia



11.      Sejarah Jurnalistik di Dunia dan Di Indonesia

11.1  Sejarah Jurnalistik Dunia

   Awal mulanya muncul jurnalistik dapat diketahui dari berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM). “Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.

  Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.

  Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
  Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan.  Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).

   Dalam sejarah Islam, seperti dikutip Kustadi Suhandang (2004), cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan.  Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal.

   Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.  Sumber: http://aulia.mylivepage.com/wiki/1923_General/1038_sejarah_jurnalistik_dunia






21.1.2.      Sejarah Jurnalistik Indonesia


   Awal mula lahirnya Jurnalistik dimulai sekitar 3000 tahun lalu. Terdapat konsep dasar jurnalistik yaitu, penyampaian berbagai pesan, berita dan informasi. konsep dasar tersebut berakar dari saat ketika itu Firaun, Amenhotep III, di Mesir mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya yang tersebar di berbagai daerah provinsi untuk mengabarkan apa yang terjadi di pusat. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.

 Media massa di Indonesia tumbuh dan berkembang secara unik, dibandingkan dengan negara  lain, terutama bila dibandingkan dengan lahir dan tumbuhnya media massa di negara-negara barat dan AS. Media cetak di Indonesia lahir pada masa penjajahan Belandayaitu dengan terbitnya surat kabar Bataviase Nouvelles (1744). Koran ini tentu saja dijalankan oleh manajemen dan jurnalis Belanda. kemudian lahirlah pers "pribumi", media cetak yang berkomunikasi dengan bahasa melayu atau bahasa daerah dan dipimpin oleh seorang pribumi. masuk dalam kategori ini adalah warta berita (1901) yang selain berbahasa melayu juga dicetak dalam bahasa latin. surat kabar lain yang lahir pada abad ke-19 meskipun telah dicetak dengan huruf latin dan berbahasa melayu tetapi umumnya masih di pimpim oleh orang-orang Belanda. Koran yang dipimpin oleh kaum pribumi ini merupakan cikal bakal "pers perjuangan" yaitu media cetak berbahasa Melayu yang menyiratkan cita-cita kemerdekaan dari penjajahan asing dalam kebijakan redaksionalnya.

  Istilah pers perjuangan kembali populer setelah 17 Agustus 1945, yaitu Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi kemudian pihak Belanda (mencoba) menjajah kembali bangs Indonesia. Pada era 1945-1946, koran-koran yang membawakan suara bangsa Indonesia masih mendapat survive si tengah tekanan pihak Belanda. Wartawan Indonesia H. Rosiwan Anwar adalah contoh "sisa-sisa laskar panjang" yang mengalami sendiri masa-masa sulit itu.

  Konsistensi pers cetak semakin terlihat pada perjalanan bangsa ini, mulai dari era demokrasi liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965), demokrasi pancasila (1965-1998) dan kini, serta era reformasi (1998-sekarang). Sumber : http://aky.ac.id/berita-125-sejarah-jurnalistik.html